Di mana saya berdiri sekarang
Beberapa minggu lalu saya duduk di bangku taman, memegang cangkir kopi yang sudah terlalu dingin karena asyik memikirkan hal yang sama: mau ke mana selanjutnya? Ada momen di karier yang terasa seperti persimpangan lampu lalu lintas. Semua arah tampak memungkinkan, tapi mana yang paling benar? Saya tahu jawaban idealnya bukan soal benar-salah, melainkan soal prioritas. Saya menulis ini seperti sedang ngobrol dengan teman—kadang serius, kadang bercanda—karena menyusun langkah karier itu tidak harus selalu kaku.
Refleksi: lima menit, satu buku catatan
Satu kebiasaan kecil yang membantu saya adalah menulis. Bukan rencana lima tahunan yang penuh KPI, tapi catatan singkat di buku kecil yang sudah bolong di pojok karena sering dibawa. Saya menuliskan tiga hal: apa yang membuat saya terjaga malam, apa yang membuat saya bangun pagi, dan satu hal yang saya takuti kalau harus hilang dari hidup. Kadang jawabannya sederhana: suara tawa tim, rasa puas menyelesaikan masalah, atau kebebasan untuk memilih proyek.
Sekali waktu saya juga membaca tulisan dari orang-orang yang membuat saya merasa tidak sendirian di persimpangan ini—tak cuma tokoh besar, tapi penulis blog yang jujur tentang kegagalannya. Saya menemukan perspektif menarik di imradhakrishnan, lalu berpikir, oh, ternyata banyak orang lain juga sering merenung tengah malam sambil menulis draft yang tak pernah dipublikasikan.
Opini: karier bukan garis lurus — santai aja
Kalau boleh jujur, saya pribadi lelah melihat narasi sukses yang selalu linear. Karier itu seperti angkot: naik-turun, kadang harus turun di tengah jalan karena sopirnya ganti rute. Menurut saya, ini bukan kegagalan. Ini adalah navigasi. Kita mesti berani bilang, “Saya ingin mencoba hal lain,” tanpa merasa maluh atau harus minta izin ke semua orang.
Salah satu pelajaran penting: jangan biarkan judul pekerjaan mendefinisikan identitasmu. Menjadi “manajer” bukan berarti kamu otomatis hebat memimpin. Leadership itu soal tindakan kecil—mengakui kesalahan, memberi ruang bagi ide yang berbeda, dan memastikan orang di sebelahmu merasa dilihat. Kadang tindakan kecil itu lebih berdampak daripada strategi besar yang hanya nampak bagus di slide.
Pelajaran kepemimpinan dari kehidupan sehari-hari
Saya belajar memimpin bukan di seminar mahal, tapi saat memimpin proyek kecil di kantor yang tidak ada anggarannya. Saya belajar dari karyawan yang datang terlambat tapi selalu siap memberi solusi, dari rekan yang selalu menanyakan, “Kamu oke?” sebelum membahas target. Empati ternyata bukan sekadar kata kunci HR. Empati itu tindakan: mendengarkan sampai selesai, memberi ruang untuk gagal, lalu bersama-sama bangkit.
Satu kebiasaan yang saya anut: beri umpan balik dengan konteks dan tujuan. Umpan balik itu bukan alat hukuman. Saya lebih suka memulai percakapan dengan, “Aku lihat kamu melakukan X, aku paham niatnya baik, ini yang aku khawatirkan…” Gaya seperti ini membuat orang tidak defensif dan membuka diskusi. Kepemimpinan juga soal merancang percakapan, bukan memerintah lewat email panjang yang dingin.
Langkah kecil yang bisa kamu coba minggu ini
Jika kamu sedang di persimpangan, coba tiga hal ini: pertama, buat daftar nilai apa yang tidak nego; kedua, ajak ngobrol tiga orang berbeda tentang pilihanmu—mantan atasan, teman kampus, atau bahkan orang yang kamu kagumi di media; ketiga, lakukan eksperimen kecil selama satu bulan. Coba proyek sampingan, ajukan solusi berbeda, atau ambil kursus singkat. Eksperimen itu murah dan cepat memberi sinyal nyata apakah jalan itu cocok atau tidak.
Terakhir, beri dirimu izin untuk berubah. Saya masih ingat betapa anehnya perasaan ketika akhirnya menerima bahwa jalur yang saya bayangkan sejak lulus tidak lagi membuat saya bersemangat. Ada rasa takut, iya. Tapi ada juga kebebasan yang menenangkan. Di persimpangan, keputusan kecil yang konsisten sering lebih berharga daripada ambisi besar yang mubazir.
Sebelum menutup catatan ini, saya mau bilang: jangan tunggu lampu hijau sempurna untuk bergerak. Jalan sering dibuka setelah kita mulai melangkah. Kalau butuh teman diskusi, saya siap ngopi dan mendengarkan—serius atau santai, terserah kamu.