Catatan Sehari Seorang Pemimpin: Refleksi Hidup, Karier, dan Opini

Selamat datang di secangkir kopi virtual—atau teh, kalau kamu bukan penggemar kopi. Hari ini aku ingin menulis sesuatu yang agak personal: catatan sehari seorang pemimpin. Bukan manifesto formal. Bukan juga curahan hati dramatis. Hanya obrolan santai tentang hidup, karier, opini, dan tentu saja tentang leadership. Duduk, tarik napas, dan mari kita ngobrol seperti dua teman di pojokan kafe yang sama-sama sedang mencari jawaban kecil untuk pertanyaan besar.

Pagi: Memulai dengan Intensi (bukan to-do list panjang)

Pagi saya biasanya dimulai dengan ritual kecil. Bukan alarm yang memaksa, melainkan niat. “Apa satu hal yang benar-benar penting hari ini?” Itu pertanyaannya. Jawabannya sering berubah. Kadang itu adalah mendengarkan tim lebih baik. Kadang itu adalah cukup istirahat agar kepala tidak mendadak ngadat di tengah meeting. Intensi memberi arah. To-do list hanya alat. Intensi yang membuat kita sadar bahwa menjadi pemimpin bukan soal produktivitas maksimal, melainkan keberhasilan kecil yang konsisten.

Saat kita memimpin, mudah sekali terseret oleh tuntutan dan ekspektasi luar. Emosi ikut naik turun. Di sinilah pentingnya memulai dengan niat yang jelas. Bukan karena terdengar puitis, tapi karena niat membantu kita memilih respons yang lebih manusiawi ketika tekanan datang.

Karier: Jalan yang Tidak Lurus — dan Itu Oke

Karier sering digambarkan sebagai tangga atau jalur lurus. Padahal hidup nyata lebih mirip jalan setapak di hutan: berbelok, tertutup, kadang nyasar. Saya pernah berpikir bahwa setiap langkah harus direncanakan mati-matian. Nyatanya, beberapa langkah terbaik muncul dari kesempatan tak terduga. Berani mencoba, gagal, dan bangkit itu lebih berharga daripada rencana sempurna yang tidak pernah dieksekusi.

Saat berdiskusi dengan rekan, saya suka berbagi link atau bacaan yang menginspirasi. Ada blog-blog kecil yang tulisannya terasa seperti ngobrol di meja kopi, misalnya imradhakrishnan, yang sering mengingatkan saya bahwa pengalaman sehari-hari bisa jadi pelajaran berharga. Jadi, jangan malu berubah haluan. Jangan takut mengakui bahwa sesuatu tidak sesuai ekspektasi. Karier adalah rangkaian cerita—kadang plot twist-nya justru yang membuat cerita hidup jadi menarik.

Opini: Berani Mengatakan, tapi Tetap Mendengar

Memiliki opini itu penting. Sebagai pemimpin, kamu dituntut untuk mengambil sikap. Namun ada seni di balik itu: kita harus berani menyuarakan apa yang kita yakini, tetapi juga tetap membuka telinga. Opini yang rigid tanpa ruang diskusi sering kali membunuh inovasi. Sebaliknya, opini yang fleksibel—yang mampu berubah ketika disodori bukti atau perspektif baru—justru menunjukkan kedewasaan.

Kita hidup di era di mana pendapat sering kali dibuat seakan final lewat satu postingan. Saya mencoba menahan diri untuk tidak cepat mengambil kesimpulan. Mengemukakan pendapat? Ya. Menyerang orang lain karena beda pandangan? Tidak. Dalam percakapan kerja maupun sosial, suasana yang menghargai perbedaan lebih memungkinkan ide-ide bagus lahir.

Leadership: Seni Menuntun tanpa Memaksa

Leadership, bagi saya, adalah tentang memudahkan orang lain menjadi versi terbaiknya. Bukan soal memerintah. Bukan soal selalu benar. Lebih sering, itu soal menyediakan ruang, resources, dan kadang dorongan moral ketika mereka ragu. Seorang pemimpin efektif tahu kapan harus memberi arahan tegas, dan kapan harus diam sambil memberi kepercayaan.

Ada kalanya aku harus mengakui kesalahan di depan tim. Itu tidak membuat saya lemah. Justru sebaliknya: menunjukkan kerentanan membantu membangun kepercayaan. Kepemimpinan yang sehat juga berarti memberi credit saat tim berhasil, mengambil tanggung jawab saat ada yang salah, dan menjaga keseimbangan antara target dan kesejahteraan manusia di balik target itu.

Di akhir hari, yang saya catat bukanlah daftar angka—melainkan momen kecil: saat seseorang di tim menemukan solusi sederhana, saat percakapan yang jujur membongkar masalah lama, atau saat tawa ringan memecah ketegangan. Momen-momen inilah yang mengingatkan saya kenapa memilih peran ini.

Jadi, catatan hari ini sederhana: hidup berlapis, karier berliku, opini perlu etika, dan leadership adalah seni yang terus diasah. Kita tidak perlu sempurna. Cukup hadir, belajar, dan terus memperbaiki cara kita memimpin—dengan empati, keberanian, dan sedikit humor di sela-sela hari. Sampai jumpa di catatan berikutnya, mungkin sambil menyeruput kopi yang lebih panas.