Di balik meja kerja saya, ada cerita-cerita kecil yang sering tak terekam dalam laporan atau presentasi. Meja itu penuh catatan tempel, secangkir yang sudah dingin, dan satu buku yang kerap jadi pelarian saat deadline menekan. Kadang saya duduk dan berpikir, apakah semua yang saya lakukan hari ini pernah membuat saya bangga? Jawabannya berubah-ubah—kadang penuh kebanggaan, kadang cuma: yah, begitulah.
Refleksi Hidup: Pelan tapi Jelas
Beberapa tahun lalu saya percaya hidup harus cepat. Lulus, kerja bagus, naik jabatan, beli rumah — checklist klasik. Kini saya lebih sering memaklumi ketidaksempurnaan dan menikmati proses yang lambat. Bukan berarti saya menyerah pada ambisi, melainkan memilih tujuan yang terasa masuk akal untuk hati saya. Momen sederhana seperti makan malam bersama keluarga atau berjalan sore tanpa mengecek notifikasi ternyata lebih bernilai daripada rapat yang berjalan sesuai agenda.
Ngobrol Santai: Kenapa Karier Bukan Segalanya
Karier memang penting — itu sumber penghidupan dan identitas. Tapi pernah ada satu proyek yang membuat saya sadar: pekerjaan terbaik bukan selalu yang memberi gaji tertinggi, melainkan yang mengizinkan kita bangun pagi dengan rasa ingin memberi. Saya pernah menolak tawaran yang menggiurkan karena tahu ritme hidup saya akan hancur. Teman-teman menertawakan keputusan itu, saya pun sempat bimbang. Sekarang saya lebih paham, keputusan itu menyelamatkan kesehatan mental saya. Yah, begitulah, kita belajar dari pilihan-pilihan yang tampak kecil tapi berpengaruh besar.
Apa Arti Kepemimpinan bagi Saya?
Bicara soal kepemimpinan, saya selalu membayangkan pemimpin yang duduk di meja yang sama dengan timnya, bukan di atas menara kaca. Kepemimpinan bagiku adalah memfasilitasi, bukan memerintah; mendengarkan, bukan hanya memberi instruksi. Saya pernah memimpin tim lintas fungsi yang sangat beragam — dari yang ahli teknis sampai yang baru lulus. Kunci sederhana tapi sering terlupakan: tanyakan “apa yang kamu butuh?” lalu bantu mereka dapatkan itu. Kepemimpinan juga tentang mengakui kesalahan. Saat saya salah menilai risiko, mengakui secara terbuka justru memperkuat kepercayaan tim.
Opini: Anti-Multitasking Itu Bukan Klise
Saya punya opini agak keras soal multitasking. Bukan karena saya anti-sibuk, tapi karena pengalaman mengajarkan bahwa fokus satu hal jauh lebih produktif. Pernah suatu hari saya mencoba membalas email sambil mengikuti webinar penting; hasilnya dua-duanya setengah matang. Sejak itu saya sering mempraktekkan blok waktu — alokasikan dua jam tanpa gangguan untuk tugas penting. Hasilnya? Kualitas kerja naik, dan anehnya waktu luang jadi terasa lebih tulus.
Langkah Kecil yang Membentuk Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan saya terbentuk dari kebiasaan kecil: memberi umpan balik yang konkret, memuji di depan tim, dan membicarakan kesalahan secara konstruktif. Ada momen lucu ketika saya mencoba pendekatan “coffee chat” santai untuk mengenal tim lebih dekat. Awalnya canggung, tapi setelah beberapa pertemuan, suasana jadi lebih terbuka. Kepemimpinan bukan soal memberi solusi setiap saat, melainkan menciptakan ruang agar orang lain bisa menemukan solusinya sendiri.
Saya juga sering membaca refleksi orang lain untuk menantang perspektif sendiri. Salah satu blog yang kerap saya singgahi memberi nuansa berbeda pada cara saya menata prioritas—kalau mau lihat inspirasi luar, cek imradhakrishnan sebagai salah satu referensi. Itu membantu saya sadar bahwa banyak jalan menuju kepuasan profesional dan pribadi.
Akhirnya, duduk di balik meja itu mengajari saya untuk tidak menghakimi diri sendiri terlalu keras. Hidup dan karier berjalan seperti aliran sungai: kadang tenang, kadang deras. Yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan perahu yang kuat, teman yang bisa diandalkan, dan peta yang sederhana. Kalau tersesat? Ya, kita perbaiki arah bersama—langkah kecil hari ini akan terasa besar nanti.